Pada zaman Nabi Muhammad saw, ada seorang pemuda bernama Uwais Al-Qarni. Ia tinggal dinegeri Yaman. Uwais adalah seorang yang terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarni adalah seorang anak yatim. Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali.
Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan domba-domba orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia dan ibunya. Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari.
Uwais Al-Qarni terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah. Uwais Al-Qarni seringkali melakukan puasa. Bila malam tiba, dia selalu berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan Nabi Muhammad, sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Berita tentang Perang Uhud yang menyebabkan Nabi Muhammad mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya, telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarni. Segera Uwais Al-Qarni mengetok giginya dengan batu hingga patah. Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad saw, sekalipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais Al-Qarni untuk menemui Nabi saw semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Ia rindu mendengar suara Nabi saw, kerinduan karena iman.
Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh? Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang wajah nabi Muhammad saw.
Akhirnya, kerinduan kepada Nabi saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinyadan mohon ijin kepada ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais Al-Qarni walaupun telah uzur, merasa terharu dengan ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa dengan Nab, segeralah engkau kembali pulang.”
Betapa gembiranya hari Uwais Al-Qarni mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas untuk berangkat. Namun, ia tak lupa mnyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju Madinah.
Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarni sampai juga dikota madinah. Segera ia mencari rumah nabi Muhammad saw. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sampbil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al-Qarni menanyakan Nabi saw yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada berada dirumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al-Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah ra, istri Nabi saw. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi saw, tetapi Nabi saw tidak dapat dijumpainya.
Dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “engkau harus lekas pulang”.
Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi saw. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi saw. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru.
Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi saw menanyakan kepada Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi saw dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad saw melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya., “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih ditengah talapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali ra dan Umar ra seraya berkata, “suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”
Waktu terus berganti, dan Nabi saw kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khatab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi saw itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa khalifah Umar ra dan sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia ?
Rombongan kalifah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kalifah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kalifah yang baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekati kedua sahabat Nabi saw ini dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi saw. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al-Qarni.
Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi saw bahwa dia itu adalah penghuni langit. Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah.” Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdulla, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Wajah Uwais Al-Qarni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan doa dan istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “saya lah yang harus meminta doa pada kalian.”
Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.” Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, disana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.
Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al-Qarni adalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, disitu selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.
Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais Al-Qarni ? bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamanmu.”
Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar ke mana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni disebabkan permintaan Uwais Al-Qarni sendiri kepada Khalifah Umar ra dan Ali ra, agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw, bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit.
Sumber : Kisah orang-orang sabar.
http://dmrulirubrik.blogspot.com
Siapakah Uwais Al-Qarni?
Asalnya berpenyakit sopak, badannya putih, putih penyakit yang tidak digemari. Walaupun dia seorang berpenyakit sopak tetapi dia seorang yang soleh, terlalu mengambil berat tentang ibunya yang uzur dan lumpuh. Dia telah begitu tekun untuk mendapatkan keredhaan ibunya. Bapa dia meninggal dunia ketika dia masih kecil lagi. Dia sopak sejak dilahirkan dan ibunya menjaga dia sampai dia dewasa.
Suatu hari ibunya memberitahu kepada Uwais bahawa dia ingin sangat untuk pergi mengerjakan haji. Dia menyuruh Uwais supaya mengikhtiarkan dan mengusahakan agar dia dapat dibawa ke Mekah untuk menunaikan haji. Sebagai seorang yang miskin, Uwais tidak berdaya untuk mencari perbelanjaan untuk ibunya kerana pada zaman itu kebanyakan orang untuk pergi haji dari Yaman ke Mekah mereka menyediakan beberapa ekor unta yang dipasang di atasnya “ Haudat ”. Haudat ini seperti rumah kecil yang diletakkan di atas unta untuk melindungi panas matahari dan hujan, selesa dan perbelanjaannya mahal. Uwais tidak mampu untuk menyediakan yang demikian, unta pun dia tidak ada, nak sewa pun tidak mampu.
Ibu Uwais semakin uzur hari demi hari dan berkata kepada anaknya pada suatu hari :
“ Anakku, mungkin ibu dah tak lama lagi akan bersama dengan kamu, ikhtiarkanlah agar ibu dapat mengerjakan haji. ”
Uwais mendapat suatu ilham. Dia membeli seekor anak lembu yang baru lahir dan sudah habis menyusu. Dia membuat sebuah rumah kecil (pondok) di atas sebuah “Tilal” iaitu sebuah tanah tinggi (rumah untuk lembu itu di atas bukit). Apa yang dia lakukan, pada petang hari dia dukung anak lembu untuk naik ke atas “Tilal”. Pagi esoknya dia dukung lembu itu turun dari “Tilal” untuk diberi makan. Itulah yang dilakukannya setiap hari. Ada ketikanya dia mendukung lembu itu mengelilingi bukit tempat dia beri lembu itu makan. Perbuatan yang dilakukannya ini menyebabkan orang kata dirinya gila.
Memang pelik, membuatkan rumah untuk lembu di atas bukit, kemudian setiap hari mengusung lembu, petang bawa naik, pagi bawa turun bukit. Namun sebenarnya jika dilihat di sebaliknya, Uwais seorang yang bijak. Lembu yang asalnya hanya 20kg, selepas enam bulan lembu itu sudah menjadi 100kg. Otot-otot tangan dan badan Uwais pula menjadi kuat hinggakan dengan mudah mengangkat lembu seberat 100kg turun dan naik bukit setiap hari.
Selepas lapan bulan, telah sampai musim haji, rupa-rupanya perbuatannya itu adalah satu persediaan untuk dia membawa ibunya mengerjakan haji. Dia telah memangku ibunya dari Yaman sampai ke Mekkah dengan kedua tangannya. Di belakangnya dia meletakkan barang-barang keperluan seperti air, roti dan sebagainya. Lembu yang beratnya 100kg boleh didukung dan dipangku inikan pula ibunya yang berat sekitar 50kg. Dia membawa (mendukung dan memangku) ibunya dengan kedua tangannya dari Yaman ke Mekah, mengerjakan Tawaf, Saie dan di Padang Arafah dengan senang sahaja. Dan dia juga memangku ibunya dengan kedua tangannya pulang semula ke Yaman dari Mekah.
Setelah pulang semula ke Yaman, ibunya bertanya :
“ Uwais, apa yang kamu doa sepanjang kamu berada di Mekah? ”
Uwais menjawab :
“ Saya berdoa minta supaya Allah mengampunkan semua dosa-dosa ibu”.
Ibunya bertanya lagi :
“ Bagaimana pula dengan dosa kamu? ”
Uwais menjawab :
“ Dengan terampun dosa ibu, ibu akan masuk syurga, cukuplah ibu redha dengan saya maka saya juga masuk syurga. “
Ibunya berkata lagi :
“Ibu nak supaya engkau berdoa agar Allah hilangkan sakit putih (sopak) kamu ini. “
Uwais berkata :
“ Saya keberatan untuk berdoa kerana ini Allah yang jadikan. Kalau tidak redha dengan kejadian Allah, macam saya tidak bersyukur dengan Allah Ta’ala. “
Ibunya menambah :
“ Kalau nak masuk syurga, kena taat kepada perintah ibu, ibu perintahkan engkau berdoa. ”
Akhirnya Uwais tidak ada pilihan melainkan mengangkat tangan dan berdoa. Uwais berdoa seperti yang ibunya minta supaya Allah sembuhkan putih yang luar biasa (sopak) yang dihidapinya itu. Namun kerana dia takut masih ada dosa pada dirinya dia berdoa :
“ Tolonglah Ya Allah! Kerana ibuku, aku berdoa hilangkan yang putih pada badanku ini melainkan tinggalkan sedikit. ”
Allah s.w.t. menyembuhkan serta merta, hilang putih sopak di seluruh badannya kecuali tinggal satu tompok sebesar duit syiling di tengkuknya. Tanda tompok putih kekal pada Uwais kerana permintaannya, kerana ini (sopak) adalah anugerah, maka inilah tanda pengenalan yang disebut Nabi s.a.w. kepada Umar dan Ali.
” Tandanya kamu nampak di belakangnya ada satu bulatan putih, bulatan sopak. Kalau berjumpa dengan tanda itu dialah Uwais al-Qarni. “
Tidak lama kemudian, ibunya telah meninggal dunia. Dia telah menunaikan kesemua permintaan ibunya. Selepas itu dia telah menjadi orang yang paling tinggi martabatnya di sisi Allah. Sayyidina Umar dan Sayidina Ali dapat berjumpa dengan Uwais dan seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. , mereka meminta supaya Uwais berdoa agar Allah swt. mengampunkan semua dosa-dosa mereka. Ketika Uwais al-Qarni berjumpa Umar dan Ali, dia berkata :
“ Aku ini datang dari Yaman ke Madinah kerana aku ingin menunaikan wasiat Nabi kepada kamu iaitu supaya kamu berdua berjumpa dengan aku. “
Maka Uwais pun telah mendoakan untuk mereka berdua.
Thursday, 25 August 2011
Anuar & Ellina : Suasana Hari Raya (HQ Audio)
SELAMAT HARI RAYA AIDILFITRI MAAF ZAHIR & BATIN...MAAFKAN SEGALA SALAH DAN SILAP...SEMOGA BERJUMPA KEMBALI DI TAHUN AKAN DATANG
Selamat Hari Raya Aidilfitri
Salam ramadhan....
arini hari yang ke 23 umat islam berpuasa di seluruh dunia
begitu juga dengan anakanda Harith...alhamdulillah masih bertahan dan berpuasa penuh
walaupun selalu merungut lapo...lapo...lapo
Hanim pula berpuasa tapi sering saja sahur lewat sebab nak susu..
alhamdulillah berpuasa juga walaupun masih berumur 4 tahun
ramadhan tahun ni mertua datang...jadi tidak la aku buka dan bersahur
bersendirian ketika suami berkerja shift siang dan malam
alhamdulillah...
esok mertua akan pulang ke Malaysia setelah menghabiskan masa selama
lebih kurang 20 hari di bumi Qatar
dan aku akan menyusul 3 hari kemudian...
di kesempatan ini saya...ingin mengucapkan
SELAMAT HARI RAYA AIDILFITRI
MAAF ZAHIR DAN BATIN
kepada semua...pembaca blog saya...
dan aku akan menyusul 3 hari kemudian...
di kesempatan ini saya...ingin mengucapkan
SELAMAT HARI RAYA AIDILFITRI
MAAF ZAHIR DAN BATIN
kepada semua...pembaca blog saya...
Monday, 22 August 2011
Mana Mak????????????????
Jam 6.30 petang.
Mak berdiri di depan pintu. Wajah Mak kelihatan resah. Mak tunggu adik bungsu balik dari sekolah agama.
Ayah baru balik dari sawah.
Ayah tanya Mak, “Along mana?’
Mak jawab, “Ada di dapur tolong siapkan makan.”
Ayah tanya Mak lagi,” Angah mana?”
Mak jawab, “Angah mandi, baru balik main bola.”
Ayah tanya Mak, “Ateh mana?”
Mak jawab, “Ateh, Kak Cik tengok tv dengan Alang di dalam?”
Ayah tanya lagi, “Adik dah balik?”
Mak jawab, “Belum. Patutnya dah balik. Basikal adik rosak kot. Kejap lagi kalau tak balik juga jom kita pergi cari Adik.”
Mak jawab soalan ayah penuh yakin. Tiap-tiap hari ayah tanya soalan yang sama. Mak jawab penuh perhatian. Mak ambil berat di mana anak-anak Mak dan bagaimana keadaan anak-anak Mak setiap masa dan setiap ketika.
Dua puluh tahun kemudian
Jam 6.30 petang
Ayah balik ke rumah. Baju ayah basah. Hujan turun sejak tengahari.
Ayah tanya Along, “Mana Mak?”
Along sedang membelek-belek baju barunya. Along jawab, “Tak tahu.”
Ayah tanya Angah, “Mana Mak?”
Angah menonton tv. Angah jawab, “Mana Angah tahu.”
Ayah tanya Ateh, “Mana Mak?”
Ayah menunggu lama jawapan dari Ateh yang asyik membaca majalah.
Ayah tanya Ateh lagi, "Mana Mak?"
Ateh menjawab, “Entah.”
Ateh terus membaca majalah tanpa menoleh kepada Ayah.
Ayah tanya Alang, “Mana Mak?”
Alang tidak jawab. Alang hanya mengoncang bahu tanda tidak tahu.
Ayah tidak mahu tanya Kak Cik dan Adik yang sedang melayan facebook. Ayah tahu yang Ayah tidak akan dapat jawapan yang ayah mahu.
Tidak ada siapa tahu di mana Mak. Tidak ada siapa merasa ingin tahu di mana Mak. Mata dan hati anak-anak Mak tidak pada Mak. Hanya mata dan hati Ayah yang mencari-cari di mana Mak.
Tidak ada anak-anak Mak yang tahu setiap kali ayah bertanya, "Mana Mak?"
Tiba-tiba adik bungsu bersuara, “Mak ni dah senja-senja pun merayap lagi. Tak reti nak balik!!”
Tersentap hati Ayah mendengar kata-kata Adik.
Dulu anak-anak Mak akan berlari mendakap Mak apabila balik dari sekolah. Mereka akan tanya "Mana Mak?" apabila Mak tidak menunggu mereka di depan pintu.
Mereka akan tanya, "Mana Mak." Apabila dapat nomor 1 atau kaki melecet main bola di padang sekolah. Mak resah apabila anak-anak Mak lambat balik. Mak mahu tahu di mana semua anak-anaknya berada setiap waktu dan setiap ketika.
Sekarang anak-anak sudah besar. Sudah lama anak-anak Mak tidak bertanya 'Mana Mak?"
Semakin anak-anak Mak besar, soalan "Mana Mak?" semakin hilang dari bibir anak-anak Mak .
Ayah berdiri di depan pintu menunggu Mak. Ayah resah menunggu Mak kerana sudah senja sebegini Mak masih belum balik. Ayah risau kerana sejak akhir-akhir ini Mak selalu mengadu sakit lutut.
Dari jauh kelihatan sosok Mak berjalan memakai payung yang sudah uzur. Besi-besi payung tercacak keluar dari kainnya. Hujan masih belum berhenti. Mak menjinjit dua bungkusan plastik. Sudah kebiasaan bagi Mak, Mak akan bawa sesuatu untuk anak-anak Mak apabila pulang dari berjalan.
Sampai di halaman rumah Mak berhenti di depan deretan kereta anak-anak Mak. Mak buangkan daun-daun yang mengotori kereta anak-anak Mak. Mak usap bahagian depan kereta Ateh perlahan-lahan. Mak rasakan seperti mengusap kepala Ateh waktu Ateh kecil. Mak senyum. Kedua bibir Mak diketap repat. Senyum tertahan, hanya Ayah yang faham. Sekarang Mak tidak dapat lagi merasa mengusap kepala anak-anak seperti masa anak-anak Mak kecil dulu. Mereka sudah besar. Mak takut anak Mak akan menepis tangan Mak kalau Mak lakukannya.
Lima buah kereta milik anak-anak Mak berdiri megah. Kereta Ateh paling gah. Mak tidak tahu pun apa kehebatan kereta Ateh itu. Mak cuma suka warnanya. Kereta warna merah bata, warna kesukaan Mak. Mak belum merasa naik kereta anak Mak yang ini.
Baju mak basah kena hujan. Ayah tutupkan payung mak. Mak bagi salam. Salam Mak tidak berjawab. Terketar-ketar lutut Mak melangkah anak tangga. Ayah pimpin Mak masuk ke rumah. Lutut Mak sakit lagi.
Mak letakkan bungkusan di atas meja. Sebungkus rebung dan sebungkus kueh koci pemberian Mak Uda untuk anak-anak Mak. Mak Uda tahu anak-anak Mak suka makan kueh koci dan Mak malu untuk meminta untuk bawa balik. Namun raut wajah Mak sudah cukup membuat Mak Uda faham.
Semasa menerima bungkusan kueh koci dari Mak Uda tadi, Mak sempat berkata kepada Mak Uda, "Wah berebutlah budak-budak tu nanti nampak kueh koci kamu ni."
Sekurang-kurangnya itulah bayangan Mak. Mak bayangkan anak-anak Mak sedang gembira menikmati kueh koci sebagimana masa anak-anak Mak kecil dulu. Mereka berebut dan Mak jadi hakim pembuat keputusan muktamat. Sering kali Mak akan beri bahagian Mak supaya anak-anak Mak puas makan. Bayangan itu sering singgah di kepala Mak.
Ayah suruh Mak tukar baju yang basah itu. Mak akur.
Selepas Mak tukar baju, Ayah iring Mak ke dapur. Mak ajak anak-anak Mak makan kueh koci. Tidak seorang pun yang menoleh kepada Mak. Mata dan hati anak-anak Mak sudah bukan pada Mak lagi.
Mak hanya tunduk, akur dengan keadaan.
Ayah tahu Mak sudah tidak boleh mengharapkan anak-anak melompat-lompat gembira dan berlari mendakapnya seperti dulu.
Ayah temankan Mak makan. Mak menyuap nasi perlahan-lahan, masih mengharapkan anak-anak Mak akan makan bersama. Setiap hari Mak berharap begitu. Hanya Ayah yang duduk bersama Mak di meja makan setiap malam.
Ayah tahu Mak penat sebab berjalan jauh. Siang tadi Mak pergi ke rumah Mak Uda di kampung seberang untuk mencari rebung. Mak hendak masak rebung masak lemak cili api dengan ikan masin kesukaan anak-anak Mak.
Ayah tanya Mak kenapa Mak tidak telepon suruh anak-anak jemput. Mak jawab, "Saya dah suruh Uda telepon budak-budak ni tadi. Tapi Uda kata semua tak berangkat."
Mak minta Mak Uda telepon anak-anak yang Mak tidak boleh berjalan balik sebab hujan. Lutut Mak akan sakit kalau sejuk. Ada sedikit harapan di hati Mak agar salah seorang anak Mak akan menjemput Mak dengan kereta. Mak teringin kalau Ateh yang datang menjemput Mak dengan kereta barunya. Tidak ada siapa yang datang jemput Mak.
Mak tahu anak-anak mak tidak sedar telepon berbunyi. Mak ingat kata-kata ayah, “Kita tak usah susahkan anak-anak. Selagi kita mampu kita buat saja sendiri apa-apa pun. Mereka ada kehidupan masing-masing. Tak payah sedih-sedih. Maafkan sajalah anak-anak kita. Tak apalah kalau tak merasa menaiki kereta mereka sekarang. Nanti kalau kita mati kita masih ada peluang merasa anak-anak mengangkat kita kat bahu mereka.”
Mak faham buah hati Mak semua sudah besar. Along dan Angah sudah beristeri. Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik masing-masing sudah punya buah hati sendiri yang sudah mengambil tempat Mak di hati anak-anak Mak.
Pada suapan terakhir, setitik air mata Mak jatuh ke pinggan.
Kueh koci masih belum diusik oleh anak-anak Mak.
Beberapa tahun kemudian
Mak Uda tanya Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik, “Mana mak?”.
Hanya Adik yang jawab, “Mak dah tak ada.”
Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik tidak sempat melihat Mak waktu Mak sakit.
Kini Mak sudah berada di sisi Tuhannya bukan di sisi anak-anak Mak lagi.
Dalam isakan tangis, Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik menerpa kubur Mak. Hanya batu nisan yang berdiri terpacak. Batu nisan Mak tidak boleh bersuara. Batu nisan tidak ada tangan macam tangan Mak yang selalu memeluk erat anak-anaknya apabila anak-anak datang menerpa Mak semasa anak-anak Mak kecil dulu.
Mak pergi semasa Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik berada jauh di bandar. Kata Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik mereka tidak dengar handphone berbunyi semasa ayah telepon untuk beritahu mak sakit tenat.
Mak faham, mata dan telinga anak-anak Mak adalah untuk orang lain bukan untuk Mak.
Hati anak-anak Mak bukan milik Mak lagi. Hanya hati Mak yang tidak pernah diberikan kepada sesiapa, hanya untuk anak-anak Mak..
Mak tidak sempat merasa diangkat di atas bahu anak-anak Mak. Hanya bahu ayah yang sempat mengangkat jenazah Mak dalam hujan renyai.
Ayah sedih sebab tiada lagi suara Mak yang akan menjawab soalan Ayah,
"Mana Along?" , "Mana Angah?", "Mana Ateh?", "Mana Alang?", "Mana Kak Cik?" atau "Mana Adik?". Hanya Mak saja yang rajin menjawab soalan ayah itu dan jawapan Mak memang tidak pernah silap. Mak sentiasa yakin dengan jawapannya sebab mak ambil tahu di mana anak-anaknya berada pada setiap waktu dan setiap ketika. Anak-anak Mak sentiasa di hati Mak tetapi hati anak-anak Mak ada orang lain yang mengisinya.
Ayah sedih. Di tepi kubur Mak, Ayah bermonolog sendiri, "Mulai hari ini tidak perlu bertanya lagi kepada Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik , "Mana mak?" "
Kereta merah Ateh bergerak perlahan membawa Ayah pulang. Along, Angah, Alang dan Adik mengikut dari belakang. Hati ayah hancur teringat hajat Mak untuk naik kereta merah Ateh tidak kesampaian. Ayah terbayang kata-kata Mak malam itu, "Cantiknya kereta Ateh, kan Bang? Besok-besok Ateh bawalah kita jalan-jalan kat Kuala Lumpur tu. Saya akan buat kueh koci buat bekal."
"Ayah, ayah....bangun." Suara Ateh memanggil ayah. Ayah pengsan sewaktu turun dari kereta Ateh..
Terketar-ketar ayah bersuara, "Mana Mak?"
Ayah tidak mampu berhenti menanya soalan itu. Sudah 10 tahun Mak pergi namun soalan "Mana Mak?" masih sering keluar dari mulut Ayah sehingga ke akhir usia.
Sebuah cerita pendek buat tatapan anak-anak yang kadang-kadang lupa persaan ibu. Kata orang hidup seorang ibu waktu muda dilambung resah, apabila tua dilambung rasa. Kata Rasulullah saw. ibu 3 kali lebih utama dari ayah. Bayangkanlah berapa kali ibu lebih utama dari isteri, pekerjaan dan anak-anak sebenarnya. Solat sunat pun Allah suruh berhenti apabila ibu memanggil. Berapa kerapkah kita membiarkan deringan telepon panggilan dari ibu tanpa berjawab?
Mak berdiri di depan pintu. Wajah Mak kelihatan resah. Mak tunggu adik bungsu balik dari sekolah agama.
Ayah baru balik dari sawah.
Ayah tanya Mak, “Along mana?’
Mak jawab, “Ada di dapur tolong siapkan makan.”
Ayah tanya Mak lagi,” Angah mana?”
Mak jawab, “Angah mandi, baru balik main bola.”
Ayah tanya Mak, “Ateh mana?”
Mak jawab, “Ateh, Kak Cik tengok tv dengan Alang di dalam?”
Ayah tanya lagi, “Adik dah balik?”
Mak jawab, “Belum. Patutnya dah balik. Basikal adik rosak kot. Kejap lagi kalau tak balik juga jom kita pergi cari Adik.”
Mak jawab soalan ayah penuh yakin. Tiap-tiap hari ayah tanya soalan yang sama. Mak jawab penuh perhatian. Mak ambil berat di mana anak-anak Mak dan bagaimana keadaan anak-anak Mak setiap masa dan setiap ketika.
Dua puluh tahun kemudian
Jam 6.30 petang
Ayah balik ke rumah. Baju ayah basah. Hujan turun sejak tengahari.
Ayah tanya Along, “Mana Mak?”
Along sedang membelek-belek baju barunya. Along jawab, “Tak tahu.”
Ayah tanya Angah, “Mana Mak?”
Angah menonton tv. Angah jawab, “Mana Angah tahu.”
Ayah tanya Ateh, “Mana Mak?”
Ayah menunggu lama jawapan dari Ateh yang asyik membaca majalah.
Ayah tanya Ateh lagi, "Mana Mak?"
Ateh menjawab, “Entah.”
Ateh terus membaca majalah tanpa menoleh kepada Ayah.
Ayah tanya Alang, “Mana Mak?”
Alang tidak jawab. Alang hanya mengoncang bahu tanda tidak tahu.
Ayah tidak mahu tanya Kak Cik dan Adik yang sedang melayan facebook. Ayah tahu yang Ayah tidak akan dapat jawapan yang ayah mahu.
Tidak ada siapa tahu di mana Mak. Tidak ada siapa merasa ingin tahu di mana Mak. Mata dan hati anak-anak Mak tidak pada Mak. Hanya mata dan hati Ayah yang mencari-cari di mana Mak.
Tidak ada anak-anak Mak yang tahu setiap kali ayah bertanya, "Mana Mak?"
Tiba-tiba adik bungsu bersuara, “Mak ni dah senja-senja pun merayap lagi. Tak reti nak balik!!”
Tersentap hati Ayah mendengar kata-kata Adik.
Dulu anak-anak Mak akan berlari mendakap Mak apabila balik dari sekolah. Mereka akan tanya "Mana Mak?" apabila Mak tidak menunggu mereka di depan pintu.
Mereka akan tanya, "Mana Mak." Apabila dapat nomor 1 atau kaki melecet main bola di padang sekolah. Mak resah apabila anak-anak Mak lambat balik. Mak mahu tahu di mana semua anak-anaknya berada setiap waktu dan setiap ketika.
Sekarang anak-anak sudah besar. Sudah lama anak-anak Mak tidak bertanya 'Mana Mak?"
Semakin anak-anak Mak besar, soalan "Mana Mak?" semakin hilang dari bibir anak-anak Mak .
Ayah berdiri di depan pintu menunggu Mak. Ayah resah menunggu Mak kerana sudah senja sebegini Mak masih belum balik. Ayah risau kerana sejak akhir-akhir ini Mak selalu mengadu sakit lutut.
Dari jauh kelihatan sosok Mak berjalan memakai payung yang sudah uzur. Besi-besi payung tercacak keluar dari kainnya. Hujan masih belum berhenti. Mak menjinjit dua bungkusan plastik. Sudah kebiasaan bagi Mak, Mak akan bawa sesuatu untuk anak-anak Mak apabila pulang dari berjalan.
Sampai di halaman rumah Mak berhenti di depan deretan kereta anak-anak Mak. Mak buangkan daun-daun yang mengotori kereta anak-anak Mak. Mak usap bahagian depan kereta Ateh perlahan-lahan. Mak rasakan seperti mengusap kepala Ateh waktu Ateh kecil. Mak senyum. Kedua bibir Mak diketap repat. Senyum tertahan, hanya Ayah yang faham. Sekarang Mak tidak dapat lagi merasa mengusap kepala anak-anak seperti masa anak-anak Mak kecil dulu. Mereka sudah besar. Mak takut anak Mak akan menepis tangan Mak kalau Mak lakukannya.
Lima buah kereta milik anak-anak Mak berdiri megah. Kereta Ateh paling gah. Mak tidak tahu pun apa kehebatan kereta Ateh itu. Mak cuma suka warnanya. Kereta warna merah bata, warna kesukaan Mak. Mak belum merasa naik kereta anak Mak yang ini.
Baju mak basah kena hujan. Ayah tutupkan payung mak. Mak bagi salam. Salam Mak tidak berjawab. Terketar-ketar lutut Mak melangkah anak tangga. Ayah pimpin Mak masuk ke rumah. Lutut Mak sakit lagi.
Mak letakkan bungkusan di atas meja. Sebungkus rebung dan sebungkus kueh koci pemberian Mak Uda untuk anak-anak Mak. Mak Uda tahu anak-anak Mak suka makan kueh koci dan Mak malu untuk meminta untuk bawa balik. Namun raut wajah Mak sudah cukup membuat Mak Uda faham.
Semasa menerima bungkusan kueh koci dari Mak Uda tadi, Mak sempat berkata kepada Mak Uda, "Wah berebutlah budak-budak tu nanti nampak kueh koci kamu ni."
Sekurang-kurangnya itulah bayangan Mak. Mak bayangkan anak-anak Mak sedang gembira menikmati kueh koci sebagimana masa anak-anak Mak kecil dulu. Mereka berebut dan Mak jadi hakim pembuat keputusan muktamat. Sering kali Mak akan beri bahagian Mak supaya anak-anak Mak puas makan. Bayangan itu sering singgah di kepala Mak.
Ayah suruh Mak tukar baju yang basah itu. Mak akur.
Selepas Mak tukar baju, Ayah iring Mak ke dapur. Mak ajak anak-anak Mak makan kueh koci. Tidak seorang pun yang menoleh kepada Mak. Mata dan hati anak-anak Mak sudah bukan pada Mak lagi.
Mak hanya tunduk, akur dengan keadaan.
Ayah tahu Mak sudah tidak boleh mengharapkan anak-anak melompat-lompat gembira dan berlari mendakapnya seperti dulu.
Ayah temankan Mak makan. Mak menyuap nasi perlahan-lahan, masih mengharapkan anak-anak Mak akan makan bersama. Setiap hari Mak berharap begitu. Hanya Ayah yang duduk bersama Mak di meja makan setiap malam.
Ayah tahu Mak penat sebab berjalan jauh. Siang tadi Mak pergi ke rumah Mak Uda di kampung seberang untuk mencari rebung. Mak hendak masak rebung masak lemak cili api dengan ikan masin kesukaan anak-anak Mak.
Ayah tanya Mak kenapa Mak tidak telepon suruh anak-anak jemput. Mak jawab, "Saya dah suruh Uda telepon budak-budak ni tadi. Tapi Uda kata semua tak berangkat."
Mak minta Mak Uda telepon anak-anak yang Mak tidak boleh berjalan balik sebab hujan. Lutut Mak akan sakit kalau sejuk. Ada sedikit harapan di hati Mak agar salah seorang anak Mak akan menjemput Mak dengan kereta. Mak teringin kalau Ateh yang datang menjemput Mak dengan kereta barunya. Tidak ada siapa yang datang jemput Mak.
Mak tahu anak-anak mak tidak sedar telepon berbunyi. Mak ingat kata-kata ayah, “Kita tak usah susahkan anak-anak. Selagi kita mampu kita buat saja sendiri apa-apa pun. Mereka ada kehidupan masing-masing. Tak payah sedih-sedih. Maafkan sajalah anak-anak kita. Tak apalah kalau tak merasa menaiki kereta mereka sekarang. Nanti kalau kita mati kita masih ada peluang merasa anak-anak mengangkat kita kat bahu mereka.”
Mak faham buah hati Mak semua sudah besar. Along dan Angah sudah beristeri. Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik masing-masing sudah punya buah hati sendiri yang sudah mengambil tempat Mak di hati anak-anak Mak.
Pada suapan terakhir, setitik air mata Mak jatuh ke pinggan.
Kueh koci masih belum diusik oleh anak-anak Mak.
Beberapa tahun kemudian
Mak Uda tanya Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik, “Mana mak?”.
Hanya Adik yang jawab, “Mak dah tak ada.”
Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik tidak sempat melihat Mak waktu Mak sakit.
Kini Mak sudah berada di sisi Tuhannya bukan di sisi anak-anak Mak lagi.
Dalam isakan tangis, Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik menerpa kubur Mak. Hanya batu nisan yang berdiri terpacak. Batu nisan Mak tidak boleh bersuara. Batu nisan tidak ada tangan macam tangan Mak yang selalu memeluk erat anak-anaknya apabila anak-anak datang menerpa Mak semasa anak-anak Mak kecil dulu.
Mak pergi semasa Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik berada jauh di bandar. Kata Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik mereka tidak dengar handphone berbunyi semasa ayah telepon untuk beritahu mak sakit tenat.
Mak faham, mata dan telinga anak-anak Mak adalah untuk orang lain bukan untuk Mak.
Hati anak-anak Mak bukan milik Mak lagi. Hanya hati Mak yang tidak pernah diberikan kepada sesiapa, hanya untuk anak-anak Mak..
Mak tidak sempat merasa diangkat di atas bahu anak-anak Mak. Hanya bahu ayah yang sempat mengangkat jenazah Mak dalam hujan renyai.
Ayah sedih sebab tiada lagi suara Mak yang akan menjawab soalan Ayah,
"Mana Along?" , "Mana Angah?", "Mana Ateh?", "Mana Alang?", "Mana Kak Cik?" atau "Mana Adik?". Hanya Mak saja yang rajin menjawab soalan ayah itu dan jawapan Mak memang tidak pernah silap. Mak sentiasa yakin dengan jawapannya sebab mak ambil tahu di mana anak-anaknya berada pada setiap waktu dan setiap ketika. Anak-anak Mak sentiasa di hati Mak tetapi hati anak-anak Mak ada orang lain yang mengisinya.
Ayah sedih. Di tepi kubur Mak, Ayah bermonolog sendiri, "Mulai hari ini tidak perlu bertanya lagi kepada Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik , "Mana mak?" "
Kereta merah Ateh bergerak perlahan membawa Ayah pulang. Along, Angah, Alang dan Adik mengikut dari belakang. Hati ayah hancur teringat hajat Mak untuk naik kereta merah Ateh tidak kesampaian. Ayah terbayang kata-kata Mak malam itu, "Cantiknya kereta Ateh, kan Bang? Besok-besok Ateh bawalah kita jalan-jalan kat Kuala Lumpur tu. Saya akan buat kueh koci buat bekal."
"Ayah, ayah....bangun." Suara Ateh memanggil ayah. Ayah pengsan sewaktu turun dari kereta Ateh..
Terketar-ketar ayah bersuara, "Mana Mak?"
Ayah tidak mampu berhenti menanya soalan itu. Sudah 10 tahun Mak pergi namun soalan "Mana Mak?" masih sering keluar dari mulut Ayah sehingga ke akhir usia.
Sebuah cerita pendek buat tatapan anak-anak yang kadang-kadang lupa persaan ibu. Kata orang hidup seorang ibu waktu muda dilambung resah, apabila tua dilambung rasa. Kata Rasulullah saw. ibu 3 kali lebih utama dari ayah. Bayangkanlah berapa kali ibu lebih utama dari isteri, pekerjaan dan anak-anak sebenarnya. Solat sunat pun Allah suruh berhenti apabila ibu memanggil. Berapa kerapkah kita membiarkan deringan telepon panggilan dari ibu tanpa berjawab?
Saturday, 13 August 2011
Kisah Benar : "Abang, tunggu Mak disYurga
Mak pandang jenazah abang yang terbaring kaku. Walaupun muka sembap, perut membusung, namun mak nampak ketenangan pada wajah abang.
Mak ambil pisau. Mak potong baju-T yang tersarung pada tubuh abang, baju terkahir yang abang pakai, Mak terpaksa potong kerana kerana baju itu tidak muat untuk melalui perut abang yang 'buncit'.
Tapi, mak akan simpan baju itu. Mak tak cuci, sesekali boleh mak cium baju itu, sekadar pengubat rindu di hati. Kemudian abah kendong tubuh abang ke pangkin yang telah disediakan. Lalu abah dan mak mendikan jenazah abang. Hanya kami berdua. Mak tak mahu orang lain. Biar tangan abah dan mak yang menjiruskanair buat kali terakhir pada tubuh kecil abang.
Mak nampak anak mata abah, berkaca-kaca, setitis dua air matanya tumpah, mengalir di pipi, tapi cepat-cepat abah sapu dengan lengan sasanya.
"Bang, jangan menangis. Kita selesaikan hingga ke titisan terkahir," begitulah kata mak pada abah.
Setelah abang dimandikan, mak bantu abah kapankan jenazah abang. Pun hanya kami berdua juga. biar tangan kami saja yang memakai dan membalutkan kain terakhir pada tubuh abang.
"Kakak, jangan menangis. tak baik buat abang macam tu!"
Itu pesan mak semasa kakak-kakak mahu mengucup dahi abang buat kali terakhir. Abah pula selepas mengucup dahi abang, cepat-cepat abah menjauh memalingkan muka.
Mak nampak air mata abah berjuntaian membasahi pipi. Dan buat kali terakhir itu juga, mak usap dahi abang. Mak senyum, lantas kucup dahi abang.
Mak bisikkan: "Abang tunggu mak di syurga ya!"
Akhirnya, wajah abang 'ditutup'. Kami sembahyangkan abang buat kali terakhir. Ramai betul jemaah yang turut serta. Setelah itu, kami bawa abang ke tanah perkuburan.
Abah masuk ke dalam liang lahad untuk menyambut jenazah abang. Alhamdulillah, semua kerja dipermudahkan. Abang sudah selamat di sana.
Bertubi-tubi mak terima ucapan takziah daripada tetamu yang datang. Abang nak tahu, ada satu soalan yang mereka tanyakan pada mak.
Soalan itu asyik terngiang-ngiang di telinga mak. Tanya mereka: "Kakak uruskan jenazah anak kandung sendiri, tapi setitis air mata tak jatuh ke pipi? Kenapa kakak tidak menangis?" Itulah soalan mereka.
Mereka hairan kenapa mak tidak menangis, sebaliknya bibir mak tidak lekang dengan senyuman. Kenapa mak masih mampu tersenyum di saat memangku sekujur tubuh yang pernah berada dalam rahim mak dulu?
Petang itu, mak duduk di satu sudut di ruang tamu rumah. Mak terfikir tentang soalan mereka itu. Mak tak tahu nak jawab macam mana. Kemudian, mak nampak sebuah diari di atas para di sudut ruang tamu.
Lantas mak capai diari kecil itu. Di dalamnya tercatat peristiwa yang berlaku sepanjang empat tahun dua bulan mak membesarkan abang.
Mak selak helaian demi helaian paparan kertas dalam diari yang sedikit usang itu. Aduh! Banyak sungguh memori yang tercatat di dalamnya.
Membacanya bagaikan meruntun jiwa mak kembali mengenangkan perjalanan derita abang sejak lahir hingga menghembuskan nafas terakhir.
Mata mak terpaku pada catatan peristiwa lebih kurang tiga bulan sebelum abang pergi. Mak rasa, di sinilah terkandung jawapan yang mak cari-cari.
Jawapan untuk soalan yang mereka tanya kenapa mak tidak menangis? Mak akan bacakan sedikit rentetan diari ini supaya mereka tahu kenapa mak tidak menangis, sayang.
Januari 2011- Perut abang semakin membusung kerana hati membengkak. kata doktor, semua organ dalaman abang sudah rosak,sudah 'reput'. Tak boleh diselamatkan lagi. Tidak mengapa. Hati mak berkata, cukuplah! Tidak akan ada lagi pembedahan untuk abang.
26 Februari 2011- Hari ini ulang tahun ke-4 abang. Dua hari sebelum itu, mak tanya, abang nak kek apa? Abang jawab, nak kek lori sampah!
Hah Hah.. Tergelak mak.Abang suka sangat melihat lori sampah yang lalu setiap pagi depan rumah. Sebab itu abang nak kek bentuk lori sampah,
Puas mak dan abah melilau sekitar Kuala Lumpur, tapi tak jumpa kek macam tu. Tak ada yang sanggup buat kek macam yang abang minta.
Mak kecewa! Selama ini, mak tunaikan apa saja permintaan abang, tapi kali ini mak gagal. Mak belikan kek coklat strawberi sebagai pengganti.
Dengan perut membusung, dada berombak kerana sukar bernafas, abang masih tersenyum dan nampak ceria melayan rakan-rakan yang datang, sama-sama menyanyikan lagu hari jadi abang. Dan ketika itu, hati mak sudah terdetik, mungkin ini hari jadi abang yang terakhir.
7 Mac 2011- Keadaan abang makin kritikal. Perut abang semakin besar. Abang tak mampu nak bergerak, lebih banyak terbaring dan asyik sesak nafas. Mak tak tahan lihat keadaan abang.
Mak bawa abang ke IJN, rumah 'kedua' abang sepanjang tempoh hayat abang. Kata doktor, tiada apa yang boleh dilakukan lagi.
Abang hanya menanti waktu. mak angguk perlahan. Mak redha. Dalam hati mak juga sudah berkata, masa abang tidak lama lagi.
Para ibu di wad tersebut asyik bertanya pada mak, macam mana dengan abang? Mak jawab: "InsyaAllah, abang akan sihat!"
Mak terpaksa cakap begitu pada mereka, sebab mak tak mahumereka semua lemah semangat jika mereka tahu abang sudah tiada harapan lagi.
Mereka pun sama, masing-masing bertarung dengan ujian apabila anak yang dikasihi ditimpa penyakit. jadi biarlah jawapan yang mak beri itu kedengaran manis pada telinga mereka. Pahitnya, biarlah mak sendiri telan.
13 Mac 2011- Hari Ahad. Mak pinta kebenaran doktor untuk bawa abang pulang kerumah . Doktor izinkan. Biarlah abang habiskan waktu-waktu terakhir bersama keluarga. Dan di saat-saat akhir ini, mak mahu tunaikan apa saja permintaan abang.
Di rumah, setiap hari mak akan tanya: "Abang nak apa harini?"
Mak masih ingat pada suatu pagi, abang menjawab: "Mak, abang nak naik kereta bomba!"
Mak termenung dengar permintaan abang. Bila abah pulang ke rumah, terus mak ajak abah keluar. Abah tanya pergi mana? Mak jawab: "Balai bomba!"
Sampai di situ, mak minta izin pegawai bomba. Mak kata, abang teringin nak merasa naik ke dalam trak bomba. Pegawai itu garu-garu kepala, kemudiannya menggeleng-gelengkan kepala.
Belum sempat pegawai bomba itu menjawab, lantas mak tarik baju abang ke paras dada. Separuh berbisik, mak beritahu pegawai itu: "Encik, ini anak bongsu saya dan hanya menanti masa untuk 'pergi'! Benarkan saya tunaikan impian terakhirnya ini!"
Bila lihat perut abang yang buncit dan dada dipenuhi kesan parut dan jahitan, pegawai itu tak tunggu lama. Terus diacapainya kunci, dibuka pintu salah satu trak bomba itu.
Dia dukung abang, letakkan ke atas tempat duduk bahagian pemandu. Abang nampak gembiru sangat biarpun cuma 15 minit abang di dalam trak itu. Abang tak perasan, mak palingkan muka lima saat. Sekadar mahu mengelap titisan air mata yang mula bertakung.
Hari lain, mak tanya lagi: "Abang nak apa?"
Abang jawab: "Abang nak naik lori sampah!"
Mak dukung abang, tunggu depan rumah. Bila lori sampah lalu pagi itu menjalankan rutinnya mengutip sampah, Mak tahan lori itu.
"Encik, anak saya teringin naik lori ni. Boleh izinkan sebentar?"
Pekerja itu tertawa mendengar kata-kata mak. Kemudian, mak angkat baju abang dan beritahu perkara sama. Berubah mimik wajah mereka.
Segera mereka angkat abang, letakkan di tempat duduk pemandu. Ada antara pekerja itu yang memalingkan muka, tak sangup lihat abang lama-lama. Sedih agaknya.
Begitulah seterusnya. Setiap hari, mak akan tanya pertanyaan yang sama. Abang kalau nak tengok gajah, mak bawa abang pergi zoo. Walaupun abang tak larat jalan, tak apa. Mak dan abah tidak kisah, kami silih berganti dukung abang.
Abang kata nak tengok burung, mak bawa ke taman burung. Abang kata nak main permainan robot, mak bawa ke kompleks beli-belah yang ada permainan seperti itu. Ke mana saja abang nak peri,semuanya mak tunaikan!
Setiap hari juga mak tanya abang nak makan apa. Macam-macam abang teringin nak makan. Martabak, nasi paprik, milo ais, cendol, air tebu, air bandung, rojak dan macam-macam lagi, semuanya mak tunaikanwalaupun makanan itu abang pinta pada pukul 3.00 pagi!
Apa saja yang teringin oleh tekak abang, semua mak cari walaupun abang sekadar menjamahnya sesudu dua. Apa saja abang pinta, kami tunaikan.
Mak tahu, mak faham, masa abang bersama mak dan abah semakin suntuk!
27 Mac 2011- Abang semakin kritikal! Nak bercakap pun terlalu lemah, apatah lagi untuk bergerak. Mata kuyu, hanya terbaringsambil memeluk Aina, anak patung kesayangan abang. Mak ajak abah bawa abang ke hospital.
"Kali ini kita bawa abang ke IJN, tapi kita mungkin akan keluar dengan tubuh abang yang sudah tidak bernafas!"
Itu kata-kata mak pada abah sebelum bertolak ke IJN. Mak mahu abah bersedia dan redha jika apa-apa berlaku. Sampai di IJN, abang terus ditempatkan di wad khas untuk pesakit kritikal.
5 April 2011- Mak telefon sekolah asrama kakak yang sulung di Seremban. Mak minta pelepasan daripada cikgu untuk benarkan kakak pulang.
"Adik tenat. Saya mahu kakak-kakaknya berada di sampingnya pada saat terakhir!"
Itu kata-kata mak pada cikgu dan akak diizinkan pulang pada hari ini. Kemudian, Dr. Adura. , doktor yang sinonim merawat abang datang melawat.
Mak memang rajin bercerita dengan Dr. Adura. Kebetulan mak ceritakan yang mak terkilantak dapat tunaikan permintaan abang mahukan kek berbentuk lori sampah.
7 April 2011- Pagi ini Dr. Adura datang melawat abang. Kemudian Dr. Adura beritahu ada surprise untuk abang tengah hari ini.
Rupa-rupanya, tengah hari itu datang tetamu yang juga rakan-rakan alam maya Dr. Adura membawa kek lori yang abang mahukan sebelum ini.
Ada dua kek mereka bawa. Mak tak sanka, Dr Adura tulis di dalam blognya kisah abang dan ramai yang mahu menyediakan kek yang abang pinta.
Sekali lagi, para tetamu bersama jururawat dan doktor menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk abang. Tapi abang kurang ceria, wajah abang tampak letih dan nafas abang turun naik.
8 April 2011- Tengah hari ini, masih ada lagi tetamu datang membawa kek berbentuk lori warna pink untuk abang. Tapi abang sekadar lemah. Abang sekadar terbaringmerenung kek itu.
Malam itu, semasa jururawat mengambil tekanan darah abang, bacaanya meningkat naik. Tapi hati mak dapat rasakan abang sekadar mahu meredakan keresahan hati mak. Malam itu, hanya mak berdua dengan abang di dalam bilik.
Mak pandang sayu wajah abang yang semakin lesu dan pucat. Mak duduk di sebelah abang, mak peluk dan usap rambut abang. Mak menangis teresak-esak bagai anak kecil.
Dalam tangis itu, mak katakan pada abang: "Mak tahu abang nak senangkan hati mak. Abang tak perlu buat macam tu. Mak tahu abang nak pergi.
"Jangan tahan-tahan abang. Pergilah. Mak sudah sedia. Mak redha segalanya. Mak puas dapat sempurnakan apa saja hajat yang abang pinta. Mak juga bangga kerana Allah hadirkan abang dalam hidup mak walaupun seketika!"
Abang hanya diam, memandang mak dengan pandangan lesu. Dan ketika itu mak menangis sepuas-puasnya. Dan mak berjanji tidak akan menangis lagi selepas itu! Ya, mak tidak akan menangis lagi biarpun abang sudah tiada lagi di dunia
Abang pada tahun 2007.
9 April 2011- Pagi itu mak pesan pada abah agar bawa semua anak-anak datang ke hospital. Masa abang dah dekat sangat. Mak lihat abang dah kritikal. Wajah abang sudah tampak biru, lebam! Dada berombak, tercungap-cungap menarik nafas.
Abang dah tak mampu bercakap lagi sejak malam tadi. Makan minum pun tak mahu. Pakul 8.00 pagi, abah dan kakak sampai.
Mak suruh kak long bacakan Yaasin di sebelah abang. Mak suruh abah baca juga, tapi bacaan abah tersekat-sekat kerana cuba menahan tangisnya.
Pukul 3.00 petang, abang makin lesu. Lantas mak ajak abang keluar berjalan-jalan.
"Abang, nak tengok matahari tak? Jom kita turun kantin minum sambil tengok matahari!"
Abang hanya mengangguk lemah. Mak dukung abang dan kita satu keluarga turun ke kantin. Abang mahu minum air coklat. Tapi abang hanya minum seteguk. Kemudian, abang lentukkan kepala pada bahu mak.
"Abang, tu tengok kat luar tu? nampak taj sinar matahari tu? Cantikkan?"
Mak tunjuk pada abang sinar matahari yang kelihatan di celah-celah rintik hujan yang turun waktu itu.
Abang angkat kepala melihat ke arah matahari itu. kemudian, abang menguap.
"Abang ngantuk!" Itu kata abang dan kemudian abang terlentuk semula pada bahu mak.
Tiba-tiba jantung mak berdegup kencang.
"Bang, jom naik. Abang nak 'tidur'! Mak terus ajak abah dan kakak naik semula ke wad walaupun mereka belum sempat jamah makanan di atas meja."
Mak tahu, masa abang sudah hampir tiba!
Sampai di wad, mak baringkan abang atas katil. Dan abang terus merintih dalam nada yang lemah: "Makkk..sakit perut..!"
Dan abang terus memanggil: "Makkkkk!". Suara abang perlahan dan amat sayu bunyinya. Lantas mak letak tapak tangan mak atas dahi abang.
"Abang, hari ini, waktu ini, mak redhakan abang pergi. Mak halalkan segala makan minum abang. Mak halalkan air susu mak untuk abang. Pergilah abang. Mak izinkan abang pergi!"
Mak ucapkan kata-kata itu sambil merenung jauh ke dalammata abang yang semakin kuyu. Saat abang sedang nazak itu, mak panggil kakak-kakak agar mengucup abang selagi abang masih bernafas. Mereka kucup pipi abang bertalu-talu dan mula meraung dan menangis.
"Kakak! kalau kamu semua nak menangis, keluar dari bilik ini. Mak tak mahu abang dengar kamu menangis! Jangan seksa abang dengan tangisan kamu!"
Mak marah mereka buat begitu pada abang. Mak tak mahu abang lihat kami menangisi pemergian abang. Mak tahu, abang akan jadi lebih sedih dan berat hati untuk pergi bila melihat kami menangis di saat akhir sakaratulmaut menjemput abang.
Mak tak mahu tambahkan lagi kesedihan abang untuk meninggalkan kami. Abah pula hanya berdiri di penjuru bilik, meraup wajah menahan suara tangisannya.
Jururawat yang ada dalam bilik juga menangis, mak suruh jururawat keluar dan tutup tirai bilik itu. Mak tak mahu orang luar lihat. Mak tak mahu ada orang menangis di saat abang akan pergi. Setitis dua mengalir juga air mata mak. Tapi mak masih mampu tersenyum.
"Pergilah abang. Mak izinkan. Mak izinkan.. pergilah..!" Dan perlahan-lahan mata abang yang layu tertutup rapat, genggaman tangan abang pada jari mak semakin lemah dan akhirnya terlepas...
Pukul 3.50 petang, akhirnya abang meninggalkan dunia fana ini. Innalillah... Mak kucup dahi abang. Mak bisikkan di telinga abang: "Tenanglah abang di sana. Suatu hari nanti, mak juga pasti akan turuti jejak abang. Abang... tunggu mak di sana
ya! Di syurga!"
Abang, sekarang mak dah dapat jawapanyya. Mengapa mak tidak menangis?
Pertama, abang telah di takdirkan menjadi ahli syurga yang akan membantu mak di sanananti.
Kedua, apa saja keinginan abang semasa hayat abang telah mak tunaikan. Tiada lagi rasa terkilan di hati mak.
Ketiga, segala hutang sebagai seorang ibu telah mak langsaikan semasa hayat abang. Mak telah sunatkan dan buat akikah untuk abang.
Keempat, mak telah menjalankan tanggungjawab sepenuhnya, sentiasa berada di sisi abang dan menggembirakan abang setiap saat dan waktu.
Kelima, mak rasa istimewa dipilih Allah untuk mendapat anak seperti abang. Mak jadi 'kaya' dengan kehadiran abang. Kaya kesabaran, kaya tawadhuk, kaya keredhaan , kaya keimanan, kaya kawan, kaya ilmu, dan kaya pengetahuan.
Mak telah beri segalan-galanya melebihi 100% untuk abang. Mak telah beri yang terbaik dan mak telah berusaha hingga ke garisan penamat. Sebab itu mak tak perlu menangis lagi.
Abang.. biarpun kini hidup mak dan abah terasa sunyi dan kosong tanpa abang tapi... mak akan sentiasa tersenyum mengenangkan saat-saat terindah kehadiran abang dalam hidup kami biarpun cuma sebentar.
Abang dalam kisah ini adalah adik Iqbal Fahreen Hamdan, anak bongsu daripada limaberadik. Abang masuk hospital seawal usia dua minggu akibat menghidapi lima jenis kompilasi jantung termasuklah kekurangan injap, jantung berlubang dan saluran sempit. Abang telah menjalani pelbagai siri pembedahan seawal usia dua bulan dan ada antara pembedahan seawal usai dua bulan dan ada antara pembedahannya gagal, malah abang pernah disahkan 'mati' apabila jantungnya berhenti berdenyut. Walaupun pada awalnya doktor mengjangkakan hayat abang tidka lama selepas lahir ke dunia, namun ternyata anak kecil ini mampu bertahan sehingga usia empat tahun untuk meninggalkan kenangan terindah dalam hidup Jamilah (ibu) dan Hamdan (bapa)
Mak ambil pisau. Mak potong baju-T yang tersarung pada tubuh abang, baju terkahir yang abang pakai, Mak terpaksa potong kerana kerana baju itu tidak muat untuk melalui perut abang yang 'buncit'.
Tapi, mak akan simpan baju itu. Mak tak cuci, sesekali boleh mak cium baju itu, sekadar pengubat rindu di hati. Kemudian abah kendong tubuh abang ke pangkin yang telah disediakan. Lalu abah dan mak mendikan jenazah abang. Hanya kami berdua. Mak tak mahu orang lain. Biar tangan abah dan mak yang menjiruskanair buat kali terakhir pada tubuh kecil abang.
Mak nampak anak mata abah, berkaca-kaca, setitis dua air matanya tumpah, mengalir di pipi, tapi cepat-cepat abah sapu dengan lengan sasanya.
"Bang, jangan menangis. Kita selesaikan hingga ke titisan terkahir," begitulah kata mak pada abah.
Setelah abang dimandikan, mak bantu abah kapankan jenazah abang. Pun hanya kami berdua juga. biar tangan kami saja yang memakai dan membalutkan kain terakhir pada tubuh abang.
"Kakak, jangan menangis. tak baik buat abang macam tu!"
Itu pesan mak semasa kakak-kakak mahu mengucup dahi abang buat kali terakhir. Abah pula selepas mengucup dahi abang, cepat-cepat abah menjauh memalingkan muka.
Mak nampak air mata abah berjuntaian membasahi pipi. Dan buat kali terakhir itu juga, mak usap dahi abang. Mak senyum, lantas kucup dahi abang.
Mak bisikkan: "Abang tunggu mak di syurga ya!"
Akhirnya, wajah abang 'ditutup'. Kami sembahyangkan abang buat kali terakhir. Ramai betul jemaah yang turut serta. Setelah itu, kami bawa abang ke tanah perkuburan.
Abah masuk ke dalam liang lahad untuk menyambut jenazah abang. Alhamdulillah, semua kerja dipermudahkan. Abang sudah selamat di sana.
Bertubi-tubi mak terima ucapan takziah daripada tetamu yang datang. Abang nak tahu, ada satu soalan yang mereka tanyakan pada mak.
Soalan itu asyik terngiang-ngiang di telinga mak. Tanya mereka: "Kakak uruskan jenazah anak kandung sendiri, tapi setitis air mata tak jatuh ke pipi? Kenapa kakak tidak menangis?" Itulah soalan mereka.
Mereka hairan kenapa mak tidak menangis, sebaliknya bibir mak tidak lekang dengan senyuman. Kenapa mak masih mampu tersenyum di saat memangku sekujur tubuh yang pernah berada dalam rahim mak dulu?
Petang itu, mak duduk di satu sudut di ruang tamu rumah. Mak terfikir tentang soalan mereka itu. Mak tak tahu nak jawab macam mana. Kemudian, mak nampak sebuah diari di atas para di sudut ruang tamu.
Lantas mak capai diari kecil itu. Di dalamnya tercatat peristiwa yang berlaku sepanjang empat tahun dua bulan mak membesarkan abang.
Mak selak helaian demi helaian paparan kertas dalam diari yang sedikit usang itu. Aduh! Banyak sungguh memori yang tercatat di dalamnya.
Membacanya bagaikan meruntun jiwa mak kembali mengenangkan perjalanan derita abang sejak lahir hingga menghembuskan nafas terakhir.
Mata mak terpaku pada catatan peristiwa lebih kurang tiga bulan sebelum abang pergi. Mak rasa, di sinilah terkandung jawapan yang mak cari-cari.
Jawapan untuk soalan yang mereka tanya kenapa mak tidak menangis? Mak akan bacakan sedikit rentetan diari ini supaya mereka tahu kenapa mak tidak menangis, sayang.
Januari 2011- Perut abang semakin membusung kerana hati membengkak. kata doktor, semua organ dalaman abang sudah rosak,sudah 'reput'. Tak boleh diselamatkan lagi. Tidak mengapa. Hati mak berkata, cukuplah! Tidak akan ada lagi pembedahan untuk abang.
26 Februari 2011- Hari ini ulang tahun ke-4 abang. Dua hari sebelum itu, mak tanya, abang nak kek apa? Abang jawab, nak kek lori sampah!
Hah Hah.. Tergelak mak.Abang suka sangat melihat lori sampah yang lalu setiap pagi depan rumah. Sebab itu abang nak kek bentuk lori sampah,
Puas mak dan abah melilau sekitar Kuala Lumpur, tapi tak jumpa kek macam tu. Tak ada yang sanggup buat kek macam yang abang minta.
Mak kecewa! Selama ini, mak tunaikan apa saja permintaan abang, tapi kali ini mak gagal. Mak belikan kek coklat strawberi sebagai pengganti.
Dengan perut membusung, dada berombak kerana sukar bernafas, abang masih tersenyum dan nampak ceria melayan rakan-rakan yang datang, sama-sama menyanyikan lagu hari jadi abang. Dan ketika itu, hati mak sudah terdetik, mungkin ini hari jadi abang yang terakhir.
7 Mac 2011- Keadaan abang makin kritikal. Perut abang semakin besar. Abang tak mampu nak bergerak, lebih banyak terbaring dan asyik sesak nafas. Mak tak tahan lihat keadaan abang.
Mak bawa abang ke IJN, rumah 'kedua' abang sepanjang tempoh hayat abang. Kata doktor, tiada apa yang boleh dilakukan lagi.
Abang hanya menanti waktu. mak angguk perlahan. Mak redha. Dalam hati mak juga sudah berkata, masa abang tidak lama lagi.
Para ibu di wad tersebut asyik bertanya pada mak, macam mana dengan abang? Mak jawab: "InsyaAllah, abang akan sihat!"
Mak terpaksa cakap begitu pada mereka, sebab mak tak mahumereka semua lemah semangat jika mereka tahu abang sudah tiada harapan lagi.
Mereka pun sama, masing-masing bertarung dengan ujian apabila anak yang dikasihi ditimpa penyakit. jadi biarlah jawapan yang mak beri itu kedengaran manis pada telinga mereka. Pahitnya, biarlah mak sendiri telan.
13 Mac 2011- Hari Ahad. Mak pinta kebenaran doktor untuk bawa abang pulang kerumah . Doktor izinkan. Biarlah abang habiskan waktu-waktu terakhir bersama keluarga. Dan di saat-saat akhir ini, mak mahu tunaikan apa saja permintaan abang.
Di rumah, setiap hari mak akan tanya: "Abang nak apa harini?"
Mak masih ingat pada suatu pagi, abang menjawab: "Mak, abang nak naik kereta bomba!"
Mak termenung dengar permintaan abang. Bila abah pulang ke rumah, terus mak ajak abah keluar. Abah tanya pergi mana? Mak jawab: "Balai bomba!"
Sampai di situ, mak minta izin pegawai bomba. Mak kata, abang teringin nak merasa naik ke dalam trak bomba. Pegawai itu garu-garu kepala, kemudiannya menggeleng-gelengkan kepala.
Belum sempat pegawai bomba itu menjawab, lantas mak tarik baju abang ke paras dada. Separuh berbisik, mak beritahu pegawai itu: "Encik, ini anak bongsu saya dan hanya menanti masa untuk 'pergi'! Benarkan saya tunaikan impian terakhirnya ini!"
Bila lihat perut abang yang buncit dan dada dipenuhi kesan parut dan jahitan, pegawai itu tak tunggu lama. Terus diacapainya kunci, dibuka pintu salah satu trak bomba itu.
Dia dukung abang, letakkan ke atas tempat duduk bahagian pemandu. Abang nampak gembiru sangat biarpun cuma 15 minit abang di dalam trak itu. Abang tak perasan, mak palingkan muka lima saat. Sekadar mahu mengelap titisan air mata yang mula bertakung.
Hari lain, mak tanya lagi: "Abang nak apa?"
Abang jawab: "Abang nak naik lori sampah!"
Mak dukung abang, tunggu depan rumah. Bila lori sampah lalu pagi itu menjalankan rutinnya mengutip sampah, Mak tahan lori itu.
"Encik, anak saya teringin naik lori ni. Boleh izinkan sebentar?"
Pekerja itu tertawa mendengar kata-kata mak. Kemudian, mak angkat baju abang dan beritahu perkara sama. Berubah mimik wajah mereka.
Segera mereka angkat abang, letakkan di tempat duduk pemandu. Ada antara pekerja itu yang memalingkan muka, tak sangup lihat abang lama-lama. Sedih agaknya.
Begitulah seterusnya. Setiap hari, mak akan tanya pertanyaan yang sama. Abang kalau nak tengok gajah, mak bawa abang pergi zoo. Walaupun abang tak larat jalan, tak apa. Mak dan abah tidak kisah, kami silih berganti dukung abang.
Abang kata nak tengok burung, mak bawa ke taman burung. Abang kata nak main permainan robot, mak bawa ke kompleks beli-belah yang ada permainan seperti itu. Ke mana saja abang nak peri,semuanya mak tunaikan!
Setiap hari juga mak tanya abang nak makan apa. Macam-macam abang teringin nak makan. Martabak, nasi paprik, milo ais, cendol, air tebu, air bandung, rojak dan macam-macam lagi, semuanya mak tunaikanwalaupun makanan itu abang pinta pada pukul 3.00 pagi!
Apa saja yang teringin oleh tekak abang, semua mak cari walaupun abang sekadar menjamahnya sesudu dua. Apa saja abang pinta, kami tunaikan.
Mak tahu, mak faham, masa abang bersama mak dan abah semakin suntuk!
27 Mac 2011- Abang semakin kritikal! Nak bercakap pun terlalu lemah, apatah lagi untuk bergerak. Mata kuyu, hanya terbaringsambil memeluk Aina, anak patung kesayangan abang. Mak ajak abah bawa abang ke hospital.
"Kali ini kita bawa abang ke IJN, tapi kita mungkin akan keluar dengan tubuh abang yang sudah tidak bernafas!"
Itu kata-kata mak pada abah sebelum bertolak ke IJN. Mak mahu abah bersedia dan redha jika apa-apa berlaku. Sampai di IJN, abang terus ditempatkan di wad khas untuk pesakit kritikal.
5 April 2011- Mak telefon sekolah asrama kakak yang sulung di Seremban. Mak minta pelepasan daripada cikgu untuk benarkan kakak pulang.
"Adik tenat. Saya mahu kakak-kakaknya berada di sampingnya pada saat terakhir!"
Itu kata-kata mak pada cikgu dan akak diizinkan pulang pada hari ini. Kemudian, Dr. Adura. , doktor yang sinonim merawat abang datang melawat.
Mak memang rajin bercerita dengan Dr. Adura. Kebetulan mak ceritakan yang mak terkilantak dapat tunaikan permintaan abang mahukan kek berbentuk lori sampah.
7 April 2011- Pagi ini Dr. Adura datang melawat abang. Kemudian Dr. Adura beritahu ada surprise untuk abang tengah hari ini.
Rupa-rupanya, tengah hari itu datang tetamu yang juga rakan-rakan alam maya Dr. Adura membawa kek lori yang abang mahukan sebelum ini.
Ada dua kek mereka bawa. Mak tak sanka, Dr Adura tulis di dalam blognya kisah abang dan ramai yang mahu menyediakan kek yang abang pinta.
Sekali lagi, para tetamu bersama jururawat dan doktor menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk abang. Tapi abang kurang ceria, wajah abang tampak letih dan nafas abang turun naik.
8 April 2011- Tengah hari ini, masih ada lagi tetamu datang membawa kek berbentuk lori warna pink untuk abang. Tapi abang sekadar lemah. Abang sekadar terbaringmerenung kek itu.
Malam itu, semasa jururawat mengambil tekanan darah abang, bacaanya meningkat naik. Tapi hati mak dapat rasakan abang sekadar mahu meredakan keresahan hati mak. Malam itu, hanya mak berdua dengan abang di dalam bilik.
Mak pandang sayu wajah abang yang semakin lesu dan pucat. Mak duduk di sebelah abang, mak peluk dan usap rambut abang. Mak menangis teresak-esak bagai anak kecil.
Dalam tangis itu, mak katakan pada abang: "Mak tahu abang nak senangkan hati mak. Abang tak perlu buat macam tu. Mak tahu abang nak pergi.
"Jangan tahan-tahan abang. Pergilah. Mak sudah sedia. Mak redha segalanya. Mak puas dapat sempurnakan apa saja hajat yang abang pinta. Mak juga bangga kerana Allah hadirkan abang dalam hidup mak walaupun seketika!"
Abang hanya diam, memandang mak dengan pandangan lesu. Dan ketika itu mak menangis sepuas-puasnya. Dan mak berjanji tidak akan menangis lagi selepas itu! Ya, mak tidak akan menangis lagi biarpun abang sudah tiada lagi di dunia
Abang pada tahun 2007.
9 April 2011- Pagi itu mak pesan pada abah agar bawa semua anak-anak datang ke hospital. Masa abang dah dekat sangat. Mak lihat abang dah kritikal. Wajah abang sudah tampak biru, lebam! Dada berombak, tercungap-cungap menarik nafas.
Abang dah tak mampu bercakap lagi sejak malam tadi. Makan minum pun tak mahu. Pakul 8.00 pagi, abah dan kakak sampai.
Mak suruh kak long bacakan Yaasin di sebelah abang. Mak suruh abah baca juga, tapi bacaan abah tersekat-sekat kerana cuba menahan tangisnya.
Pukul 3.00 petang, abang makin lesu. Lantas mak ajak abang keluar berjalan-jalan.
"Abang, nak tengok matahari tak? Jom kita turun kantin minum sambil tengok matahari!"
Abang hanya mengangguk lemah. Mak dukung abang dan kita satu keluarga turun ke kantin. Abang mahu minum air coklat. Tapi abang hanya minum seteguk. Kemudian, abang lentukkan kepala pada bahu mak.
"Abang, tu tengok kat luar tu? nampak taj sinar matahari tu? Cantikkan?"
Mak tunjuk pada abang sinar matahari yang kelihatan di celah-celah rintik hujan yang turun waktu itu.
Abang angkat kepala melihat ke arah matahari itu. kemudian, abang menguap.
"Abang ngantuk!" Itu kata abang dan kemudian abang terlentuk semula pada bahu mak.
Tiba-tiba jantung mak berdegup kencang.
"Bang, jom naik. Abang nak 'tidur'! Mak terus ajak abah dan kakak naik semula ke wad walaupun mereka belum sempat jamah makanan di atas meja."
Mak tahu, masa abang sudah hampir tiba!
Sampai di wad, mak baringkan abang atas katil. Dan abang terus merintih dalam nada yang lemah: "Makkk..sakit perut..!"
Dan abang terus memanggil: "Makkkkk!". Suara abang perlahan dan amat sayu bunyinya. Lantas mak letak tapak tangan mak atas dahi abang.
"Abang, hari ini, waktu ini, mak redhakan abang pergi. Mak halalkan segala makan minum abang. Mak halalkan air susu mak untuk abang. Pergilah abang. Mak izinkan abang pergi!"
Mak ucapkan kata-kata itu sambil merenung jauh ke dalammata abang yang semakin kuyu. Saat abang sedang nazak itu, mak panggil kakak-kakak agar mengucup abang selagi abang masih bernafas. Mereka kucup pipi abang bertalu-talu dan mula meraung dan menangis.
"Kakak! kalau kamu semua nak menangis, keluar dari bilik ini. Mak tak mahu abang dengar kamu menangis! Jangan seksa abang dengan tangisan kamu!"
Mak marah mereka buat begitu pada abang. Mak tak mahu abang lihat kami menangisi pemergian abang. Mak tahu, abang akan jadi lebih sedih dan berat hati untuk pergi bila melihat kami menangis di saat akhir sakaratulmaut menjemput abang.
Mak tak mahu tambahkan lagi kesedihan abang untuk meninggalkan kami. Abah pula hanya berdiri di penjuru bilik, meraup wajah menahan suara tangisannya.
Jururawat yang ada dalam bilik juga menangis, mak suruh jururawat keluar dan tutup tirai bilik itu. Mak tak mahu orang luar lihat. Mak tak mahu ada orang menangis di saat abang akan pergi. Setitis dua mengalir juga air mata mak. Tapi mak masih mampu tersenyum.
"Pergilah abang. Mak izinkan. Mak izinkan.. pergilah..!" Dan perlahan-lahan mata abang yang layu tertutup rapat, genggaman tangan abang pada jari mak semakin lemah dan akhirnya terlepas...
Pukul 3.50 petang, akhirnya abang meninggalkan dunia fana ini. Innalillah... Mak kucup dahi abang. Mak bisikkan di telinga abang: "Tenanglah abang di sana. Suatu hari nanti, mak juga pasti akan turuti jejak abang. Abang... tunggu mak di sana
ya! Di syurga!"
Abang, sekarang mak dah dapat jawapanyya. Mengapa mak tidak menangis?
Pertama, abang telah di takdirkan menjadi ahli syurga yang akan membantu mak di sanananti.
Kedua, apa saja keinginan abang semasa hayat abang telah mak tunaikan. Tiada lagi rasa terkilan di hati mak.
Ketiga, segala hutang sebagai seorang ibu telah mak langsaikan semasa hayat abang. Mak telah sunatkan dan buat akikah untuk abang.
Keempat, mak telah menjalankan tanggungjawab sepenuhnya, sentiasa berada di sisi abang dan menggembirakan abang setiap saat dan waktu.
Kelima, mak rasa istimewa dipilih Allah untuk mendapat anak seperti abang. Mak jadi 'kaya' dengan kehadiran abang. Kaya kesabaran, kaya tawadhuk, kaya keredhaan , kaya keimanan, kaya kawan, kaya ilmu, dan kaya pengetahuan.
Mak telah beri segalan-galanya melebihi 100% untuk abang. Mak telah beri yang terbaik dan mak telah berusaha hingga ke garisan penamat. Sebab itu mak tak perlu menangis lagi.
Abang.. biarpun kini hidup mak dan abah terasa sunyi dan kosong tanpa abang tapi... mak akan sentiasa tersenyum mengenangkan saat-saat terindah kehadiran abang dalam hidup kami biarpun cuma sebentar.
Abang dalam kisah ini adalah adik Iqbal Fahreen Hamdan, anak bongsu daripada limaberadik. Abang masuk hospital seawal usia dua minggu akibat menghidapi lima jenis kompilasi jantung termasuklah kekurangan injap, jantung berlubang dan saluran sempit. Abang telah menjalani pelbagai siri pembedahan seawal usia dua bulan dan ada antara pembedahan seawal usai dua bulan dan ada antara pembedahannya gagal, malah abang pernah disahkan 'mati' apabila jantungnya berhenti berdenyut. Walaupun pada awalnya doktor mengjangkakan hayat abang tidka lama selepas lahir ke dunia, namun ternyata anak kecil ini mampu bertahan sehingga usia empat tahun untuk meninggalkan kenangan terindah dalam hidup Jamilah (ibu) dan Hamdan (bapa)
Monday, 8 August 2011
Zikir Murah Rezeki Dari Imam Ghazali
Imam Ghazali mengajarkan suatu amalan untuk dibaca setiap hari. Menurutnya orang yang mengamalkan amalan ini akan dimudahkan segala urusannya dan dilapangkan rezekinya, serta dihindarkan dari segala macam kesulitan. Amalan ini dibaca untuk setiap hari yang berbeda sebanyak 1000 kali.
Hari Isnin baca “Lahaula walaa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘adhiim”, artinya “Tidak ada daya dan kekuatan melainkan daya dan kekuatanTuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Besar”
Hari Selasa baca “Allaahuma shalli ‘alaa sayyidina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wasallim”, artinya “ Ya Allah berilah kesejahteraan atas Nabi Muhammad dan para sahabatnya dan juga keselamatan.”
Hari Rabu baca “Astaghfirullahal adhiim”, artinya “Saya meminta ampun kepada Tuhan yang maha besar”.
Hari Khamis baca “Subhaanallahil ‘aliyyil ‘adhimi wabihamdihi”, artinya “ Maha suci Allah SWT dari segala sifat kekurangan Tuhan yang maha tinggi dan maha besar.”
Hari Jumaat baca “Ya Allah “
Hari Sabtu baca “Laailaaha illallaah“, ertinya “Tiada tuhan selain Allah.”
Hari Ahad baca “Ya hayyu Ya Qayyuum”, ertinya “Wahai yang maha hidup dan berdiri sendiri.
Hari Isnin baca “Lahaula walaa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘adhiim”, artinya “Tidak ada daya dan kekuatan melainkan daya dan kekuatanTuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Besar”
Hari Selasa baca “Allaahuma shalli ‘alaa sayyidina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wasallim”, artinya “ Ya Allah berilah kesejahteraan atas Nabi Muhammad dan para sahabatnya dan juga keselamatan.”
Hari Rabu baca “Astaghfirullahal adhiim”, artinya “Saya meminta ampun kepada Tuhan yang maha besar”.
Hari Khamis baca “Subhaanallahil ‘aliyyil ‘adhimi wabihamdihi”, artinya “ Maha suci Allah SWT dari segala sifat kekurangan Tuhan yang maha tinggi dan maha besar.”
Hari Jumaat baca “Ya Allah “
Hari Sabtu baca “Laailaaha illallaah“, ertinya “Tiada tuhan selain Allah.”
Hari Ahad baca “Ya hayyu Ya Qayyuum”, ertinya “Wahai yang maha hidup dan berdiri sendiri.
TaZkirah 8 RaMadhan
6 Perkara Yang Mendorong Seseorang Itu Mengumpat Menurut Imam Al Ghazali
SIKAP suka mengumpat atau menceritakan keburukan dan kelemahan orang lain
dilaknat oleh Allah.
Mereka yang bersikap demikian, secara disedari atau tidak mencela dan
mengaibkan orang lain yang hukumnya berdosa besar.
Ketika berbual, sama ada secara sengaja atau tidak, mereka menceritakan
keburukan ketuanya, jiran, saudara mara dan orang yang lalu di hadapan
mereka.
Firman Allah bermaksud: "Hai orang yang beriman, kalau datang kepada kamu
orang jahat membawa berita, periksalah dengan saksama supaya kamu jangan
sampai mencelakakan suatu kaum yang tidak diketahui, kemudian kamu menyesal
di atas perbuatanmu itu." (Surah al-Hujurat, ayat 6)
Sabda Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan oleh Al-Thabrani daripada
Abu Hurairah bermaksud: "Yang paling dikasihi Allah antara kamu ialah mereka
yang baik akhlaknya, merendah diri, suka pada orang dan disukai orang. Dan
yang paling dimarahi Allah ialah mereka yang membawa fitnah, mencerai
beraikan di antara sesama saudara dan mencaci orang yang tidak bersalah."
Imam al-Ghazali ada menyebut enam perkara yang mendorong seseorang itu
mengumpat;
1. Ingin memuaskan hati disebabkan kemarahan yang memuncak hingga sanggup
mendedahkan keaiban dan kesalahan orang lain. Jika kemarahan tidak dapat
dikawal, ia boleh menimbulkan hasad dan dendam;
2. Suka mendengar dan mengikuti perbualan orang yang menyerang peribadi
dan kehormatan seseorang;
3. Mahu bersaing dan menonjolkan diri dengan menganggap orang lain bodoh
dan rendah;
4. Disebabkan dengki, dia iri hati dengan orang lain yang lebih beruntung
dan berjaya, seperti dinaikkan gaji dan pangkat;
5. Bergurau dan suka melawak untuk mencela dan mengatakan kelemahan dan
kecacatan hingga mengaibkan orang lain; dan
6. Sikap suka mengejek dan mencela disebabkan rasa bongkak dan sombong
kerana memandang rendah orang lain.
Sehubungan itu, Imam al-Ghazali menyarankan lima
perkara untuk
menghentikan sikap suka mengumpat, antaranya ialah;
Harus sedar dan insaf mengumpat dan memburuk-burukkan orang lain itu
berdosa besar;
#Sedar dan membetulkan kesalahan sendiri daripada menyalahkan orang; dan
#Hendaklah berasa malu apabila memperli kecacatan orang lain. Ini kerana
mencela kecacatan fizikal seolah-olah mencerca Tuhan yang menciptakan.
SIKAP suka mengumpat atau menceritakan keburukan dan kelemahan orang lain
dilaknat oleh Allah.
Mereka yang bersikap demikian, secara disedari atau tidak mencela dan
mengaibkan orang lain yang hukumnya berdosa besar.
Ketika berbual, sama ada secara sengaja atau tidak, mereka menceritakan
keburukan ketuanya, jiran, saudara mara dan orang yang lalu di hadapan
mereka.
Firman Allah bermaksud: "Hai orang yang beriman, kalau datang kepada kamu
orang jahat membawa berita, periksalah dengan saksama supaya kamu jangan
sampai mencelakakan suatu kaum yang tidak diketahui, kemudian kamu menyesal
di atas perbuatanmu itu." (Surah al-Hujurat, ayat 6)
Sabda Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan oleh Al-Thabrani daripada
Abu Hurairah bermaksud: "Yang paling dikasihi Allah antara kamu ialah mereka
yang baik akhlaknya, merendah diri, suka pada orang dan disukai orang. Dan
yang paling dimarahi Allah ialah mereka yang membawa fitnah, mencerai
beraikan di antara sesama saudara dan mencaci orang yang tidak bersalah."
Imam al-Ghazali ada menyebut enam perkara yang mendorong seseorang itu
mengumpat;
1. Ingin memuaskan hati disebabkan kemarahan yang memuncak hingga sanggup
mendedahkan keaiban dan kesalahan orang lain. Jika kemarahan tidak dapat
dikawal, ia boleh menimbulkan hasad dan dendam;
2. Suka mendengar dan mengikuti perbualan orang yang menyerang peribadi
dan kehormatan seseorang;
3. Mahu bersaing dan menonjolkan diri dengan menganggap orang lain bodoh
dan rendah;
4. Disebabkan dengki, dia iri hati dengan orang lain yang lebih beruntung
dan berjaya, seperti dinaikkan gaji dan pangkat;
5. Bergurau dan suka melawak untuk mencela dan mengatakan kelemahan dan
kecacatan hingga mengaibkan orang lain; dan
6. Sikap suka mengejek dan mencela disebabkan rasa bongkak dan sombong
kerana memandang rendah orang lain.
Sehubungan itu, Imam al-Ghazali menyarankan lima
perkara untuk
menghentikan sikap suka mengumpat, antaranya ialah;
Harus sedar dan insaf mengumpat dan memburuk-burukkan orang lain itu
berdosa besar;
#Sedar dan membetulkan kesalahan sendiri daripada menyalahkan orang; dan
#Hendaklah berasa malu apabila memperli kecacatan orang lain. Ini kerana
mencela kecacatan fizikal seolah-olah mencerca Tuhan yang menciptakan.
salam ramadhan
alhamdulillah tahun ini akan puasa penuh seperti tahun lepas
bukan apa....as preggy mother itu adalah kelebihan
yang Allah berikan...
setakat 8 ari berpuasa ni aku tidak mengalami masalah
dan alhamdulillah baby pun ok aje...
cuma yang tak tahan ...lepas sahur aktiviti ke tandas akan
bermula...arini paling teruk...entah berapa kali aku masuk tandas
nak buang air kecil...padahal bukan nye banyak sangat bahan
kumbahan nya..
puasa kali ini juga...my in laws come to qatar...
best tu memang best cuma
kesian kat mak ayah sebab xde aktiviti sangat yg dapat dibuat...
pas2 my hubby pun keje...
aktiviti yg biasa adalah TIDO
Subscribe to:
Posts (Atom)